Selasa, 07 Mei 2013

Pers Orde Baru dan Pers Reformasi



Pers Orde Baru dan Pers Reformasi
Proses transisi politik di tanah air membawa pengaruh signifikan terhadap perkembangan media massa, khususnya pers Indonesia. Sistem pers di negara kita adalah sistem yang rumit, tidak sesederhana seperti apa yang dapat dilihat oleh mata awam karena melibatkan banyak tangan yang bermain di dalamnya. Instrumen politik yang terejawantahkan menjadi berbagai bentuk kebijakan telah meruntuhkan teori-teori tentang sistem pers jika bersentuhan dengan kontradiksi antara teori dengan praktik di lapangan. Kondisi ini berlangsung dari rezim ke rezim. Kali ini bincangmedia membahas perbandingan sistem pers Indonesia pada masa Orde Baru dan Reformasi.
Rezim Orde Baru dengan konsep Pers Pancasila yang memiliki jargon ”pers yang bebas dan bertanggung jawab” pada akhirnya hanya berhenti pada slogan politis. Bertanggung jawab dalam hal ini tidak lebih sebagai bentuk bertanggung jawab terhadap pemerintah karena dalam praktiknya, pemerintah selalu berupaya menempatkan pers sebagai bagian dari ideological state apparatus, yang diharapkan bisa berperan dalam proses mereproduksi dan menjaga stabilitas legitimasi penguasa. Untuk itu, rezim Orde Baru telah menerapkan berbagai kontrol terhadap pers, yang peda garis besarnya mencakup:
1.   Kontrol preventif dan korektif terhadap kepemilikan institusi media, antara lain mealui pemberian SIT (yang kemudian diganti dengan SIUPP) secara selektif berdasarkan kriteria politik tertentu.
2.  Kontrol terhadap individu dan kelompok pelaku profesional (wartawan) melauluI mekanisme seleksi dan regulasi (seperti keharusan menjadi anggota PWI sebagai wadah tunggal, kewajiban mengikuti penatarn P4 bagi pemimpin redaksi), dan kontrol berupa penunjukan-penunjukan individu-individu untuk menduduki jabatan tertentu dalam media milik pemerintah.
3.  Kontrol terhadap produk teks pemberitaan (baik isi maupun isu pemberitaan) melaui berbagai mekanisme.
4.  Kontrol terhadap sumber daya, antara lain berupa monopoli kertas oleh penguasa.
5.  Kontrol terhadap akses ke pers, berupa pencekalan tokoh-tokoh oposan tertentu untuk tidak ditampilkan dalam pemberitaan pers.
Di sisi lain, Orde Baru menentukan landasan operasional pers bersifat ideologis, melalui konsep jurnalisme pembangunan. Konsep jurnalisme semacam ini pada hakekatnya menjadikan media bersifat partisan dalam kerangka orientasi negara.
Salah satu indikasi tafsir undang-undang pers yang menggunakan kacamata kepentingan “negara” adalah selalu dikaitkan dengan salah satu visi pemerintah Orde Baru waktu itu, yakni apa yang disebut “stabilitas nasional”. Untuk memelihara serta memperkokoh ketahanan nasional yang sehat dan dinamis, maka pers nasional bertanggungjawab untuk turut menyukseskan pembangunan nasional. Alasan stabilitas nasional inilah yang menyebabkan negara merasa berhak dan harus menjalankan tugasnya itu dengan “pendekatan keamanan” (security approach).
Fungsi kontrol pers terhadap pemerintah sangat lemah. Pemerintah bersifat sangat peka terhadap perbedaan sikap atau pandangan yang diungkapkan pers. SIUPP menjadi senjata andalan pemerintah dalam membungkam pers Indonesia. Banyak pers yang terbunuh oleh perangkap ini. Kebebasan pers serasa impian pada masa itu. Seorang Pemimpin Umum dan Pemimpin Redaksi Harian Indonesia Raya (1949-1958 dan 1968-1974) pernah masuk penjara di rezim Soekarno dan rezim Soeharto karena gigih memperjuangkan kebebasan pers.
Kondisi sangat berbeda sejak masa Reformasi tahun 1998. Berlakunya Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers yang menandai era baru kebebasan pers paska otoritarianisme Orde Baru telah membawa banyak perubahan bagi dinamisasi kehidupan media di Indonesia. Salah satu indikator awal dari adanya kebebasan tersebut adalah meningkatnya jumlah penerbitan pers. Berdasarkan data Direktorat Pembinaan Pers (23 September 1999), jumlah penerbitan media cetak di Indonesia yang meliputi suratkabar, tabloid, majalah, dan bulletin mencapai 1.687. Jika dibandingkan dengan tahun 1997 jumlah penerbitan yang hanya 289 media, berarti hanya sekitar seperlima dari jumlah penerbitan yang ada pada tahun 1999. Bagi publik, kondisi ini memunculkan harapan baru untuk memperoleh keragaman informasi yang bersumber dari adanya keragaman isi maupun keragaman kepemilikan media.
Kehadiran UU No. 40 Tahun 1999 tidak semata-mata berimbas pada banyaknya penerbitan pers yang muncul, namun juga memberi kemerdekaan dan keterbukaan bagi insan media dalam menjalankan aktivitas jurnalistiknya berupa kegiatan 6M, yakni mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi melalui berbagai saluran yang tersedia. Di atas kertas, prestasi ini ditandai dengan Indeks Peringkat Kemerdekaan Pers Tahun 2001 menurut Reporters Sans Frontieres Paris. Berdasarkan tiga parameter penelitian yang digunakan, yakni (1) hukum media di negara bersangkutan, (2) kebebasan wartawan dalam mencari berita, dan (3) profesionalisme wartawan dan media di suatu negara; Indonesia tercatat memiliki indeks kemerdekaan pers tertinggi di Asia (Batubara, 2007: 75). Pada tahun 2002, menurut data Indeks Kebebasan Pers Dunia yang pertamakali dikeluarkan oleh Reporters Without Borders (Oktober 2002), Indonesia menempati urutan 57 dari 139 negara—yang  diteliti—di seluruh dunia (Luwarso dan Samsuri, 2003: 81-84).
Semangat untuk memenuhi kebutuhan publik dalam memanfaatkan momentum kebebasan pers dalam praktiknya ternyata sering menimbulkan berbagai ironi yang justru bertentangan dengan semangat dasar dan filosofi jurnalisme. Salah satunya terlihat dari banyaknya pengabaian standard jurnalistik dalam penulisan berita. Akibatnya, kebebasan, baik “bebas dari” maupun “bebas untuk” yang melekat pada dunia pers tanpa disertai peningkatan upaya profesional untuk memegang teguh kepercayaan masyarakat (pembaca) akhirnya menghasilkan media yang menampilkan berita-berita bombastis, melodrama, mistik, eksploitasi seksual, dan cenderung pada taraf pengungkapan konflik demi memuaskan selera rendah pembacanya.  Anggapan bahwa pers telah berjalan melampaui makna kebebasan pers itu sendiri juga dikemukakan oleh beberapa pengamat media. Kritik yang paling populer disampaikan oleh Jalaluddin Rakhmat dalam opininya di Kompas, 9 Februari 1999. Ia mengatakan, akibat berlebihan memaknai euforia kebebasan, pers Indonesia seperti kuda lepas dari kandangnya, meloncat-loncat, berlari tanpa arah dan mendengus-dengus ke mana saja (Susilastuti D.N., 2000: 232, Sobur, 2001: vii). Kritik senada muncul dari mendiang Abdul Muis, Gurubesar Program Pascasarjana Komunikasi Universitas Hasanuddin. Menurutunya, euforia kebebasan pers di era reformasi tampaknya sudah mencapai titik jenuh dan memunculkan gejala kebebasan pers yang bersifat ganas (predatory freedom) pada sebagian penerbitan pers (Sobur, 2001: vii).
Menurut UU No 40/1999, pers dan kebebasan pers adalah sosok dan kebebasan yang luar biasa. Kemerdekaan pers diakui sebagai salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasas prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum (Pasal 2). Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara (Pasal 4 A1). Pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran (Pasal 4 Ayat 2). Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional berhak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi (Pasal 4 Ayat 3). Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak (Pasal 4 Ayat 4).[Iwan Awaluddin Yusuf].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar