Pers Orde Baru dan Pers Reformasi
Proses
transisi politik di tanah air membawa pengaruh signifikan terhadap perkembangan
media massa, khususnya pers Indonesia. Sistem pers di negara kita adalah sistem
yang rumit, tidak sesederhana seperti apa yang dapat dilihat oleh mata awam
karena melibatkan banyak tangan yang bermain di dalamnya. Instrumen politik
yang terejawantahkan menjadi berbagai bentuk kebijakan telah meruntuhkan
teori-teori tentang sistem pers jika bersentuhan dengan kontradiksi antara
teori dengan praktik di lapangan. Kondisi ini berlangsung dari rezim ke rezim.
Kali ini bincangmedia membahas perbandingan sistem pers Indonesia pada masa
Orde Baru dan Reformasi.
Rezim
Orde Baru dengan konsep Pers Pancasila yang memiliki jargon ”pers yang bebas
dan bertanggung jawab” pada akhirnya hanya berhenti pada slogan politis.
Bertanggung jawab dalam hal ini tidak lebih sebagai bentuk bertanggung jawab
terhadap pemerintah karena dalam praktiknya, pemerintah selalu berupaya
menempatkan pers sebagai bagian dari ideological state apparatus, yang
diharapkan bisa berperan dalam proses mereproduksi dan menjaga stabilitas
legitimasi penguasa. Untuk itu, rezim Orde Baru telah menerapkan berbagai
kontrol terhadap pers, yang peda garis besarnya mencakup:
1.
Kontrol
preventif dan korektif terhadap kepemilikan institusi media, antara lain mealui
pemberian SIT (yang kemudian diganti dengan SIUPP) secara selektif berdasarkan
kriteria politik tertentu.
2. Kontrol terhadap individu dan kelompok
pelaku profesional (wartawan) melauluI mekanisme seleksi dan regulasi (seperti
keharusan menjadi anggota PWI sebagai wadah tunggal, kewajiban mengikuti
penatarn P4 bagi pemimpin redaksi), dan kontrol berupa penunjukan-penunjukan
individu-individu untuk menduduki jabatan tertentu dalam media milik
pemerintah.
3. Kontrol terhadap produk teks pemberitaan
(baik isi maupun isu pemberitaan) melaui berbagai mekanisme.
4. Kontrol terhadap sumber daya, antara
lain berupa monopoli kertas oleh penguasa.
5. Kontrol terhadap akses ke pers, berupa
pencekalan tokoh-tokoh oposan tertentu untuk tidak ditampilkan dalam pemberitaan
pers.
Di
sisi lain, Orde Baru menentukan landasan operasional pers bersifat ideologis,
melalui konsep jurnalisme pembangunan. Konsep jurnalisme semacam ini pada
hakekatnya menjadikan media bersifat partisan dalam kerangka orientasi negara.
Salah
satu indikasi tafsir undang-undang pers yang menggunakan kacamata kepentingan
“negara” adalah selalu dikaitkan dengan salah satu visi pemerintah Orde Baru
waktu itu, yakni apa yang disebut “stabilitas nasional”. Untuk memelihara serta
memperkokoh ketahanan nasional yang sehat dan dinamis, maka pers nasional
bertanggungjawab untuk turut menyukseskan pembangunan nasional. Alasan
stabilitas nasional inilah yang menyebabkan negara merasa berhak dan harus
menjalankan tugasnya itu dengan “pendekatan keamanan” (security approach).
Fungsi
kontrol pers terhadap pemerintah sangat lemah. Pemerintah bersifat sangat peka
terhadap perbedaan sikap atau pandangan yang diungkapkan pers. SIUPP menjadi
senjata andalan pemerintah dalam membungkam pers Indonesia. Banyak pers yang terbunuh
oleh perangkap ini. Kebebasan pers serasa impian pada masa itu. Seorang
Pemimpin Umum dan Pemimpin Redaksi Harian Indonesia Raya (1949-1958 dan
1968-1974) pernah masuk penjara di rezim Soekarno dan rezim Soeharto karena
gigih memperjuangkan kebebasan pers.
Kondisi
sangat berbeda sejak masa Reformasi tahun 1998. Berlakunya Undang-undang No. 40
Tahun 1999 tentang Pers yang menandai era baru kebebasan pers paska
otoritarianisme Orde Baru telah membawa banyak perubahan bagi dinamisasi
kehidupan media di Indonesia. Salah satu indikator awal dari adanya kebebasan
tersebut adalah meningkatnya jumlah penerbitan pers. Berdasarkan data
Direktorat Pembinaan Pers (23 September 1999), jumlah penerbitan media cetak di
Indonesia yang meliputi suratkabar, tabloid, majalah, dan bulletin
mencapai 1.687. Jika dibandingkan dengan tahun 1997 jumlah penerbitan yang
hanya 289 media, berarti hanya sekitar seperlima dari jumlah penerbitan yang
ada pada tahun 1999. Bagi publik, kondisi ini memunculkan harapan baru untuk
memperoleh keragaman informasi yang bersumber dari adanya keragaman isi maupun
keragaman kepemilikan media.
Kehadiran
UU No. 40 Tahun 1999 tidak semata-mata berimbas pada banyaknya penerbitan pers
yang muncul, namun juga memberi kemerdekaan dan keterbukaan bagi insan media
dalam menjalankan aktivitas jurnalistiknya berupa kegiatan 6M, yakni mencari,
memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi melalui
berbagai saluran yang tersedia. Di atas kertas, prestasi ini ditandai dengan
Indeks Peringkat Kemerdekaan Pers Tahun 2001 menurut Reporters Sans
Frontieres Paris. Berdasarkan tiga parameter penelitian yang digunakan,
yakni (1) hukum media di negara bersangkutan, (2) kebebasan wartawan dalam
mencari berita, dan (3) profesionalisme wartawan dan media di suatu negara;
Indonesia tercatat memiliki indeks kemerdekaan pers tertinggi di Asia
(Batubara, 2007: 75). Pada tahun 2002, menurut data Indeks Kebebasan Pers Dunia
yang pertamakali dikeluarkan oleh Reporters Without Borders (Oktober
2002), Indonesia menempati urutan 57 dari 139 negara—yang diteliti—di
seluruh dunia (Luwarso dan Samsuri, 2003: 81-84).
Semangat
untuk memenuhi kebutuhan publik dalam memanfaatkan momentum kebebasan pers
dalam praktiknya ternyata sering menimbulkan berbagai ironi yang justru
bertentangan dengan semangat dasar dan filosofi jurnalisme. Salah satunya
terlihat dari banyaknya pengabaian standard jurnalistik dalam penulisan berita.
Akibatnya, kebebasan, baik “bebas dari” maupun “bebas untuk” yang melekat pada
dunia pers tanpa disertai peningkatan upaya profesional untuk memegang teguh
kepercayaan masyarakat (pembaca) akhirnya menghasilkan media yang menampilkan
berita-berita bombastis, melodrama, mistik, eksploitasi seksual, dan cenderung
pada taraf pengungkapan konflik demi memuaskan selera rendah pembacanya.
Anggapan bahwa pers telah berjalan melampaui makna kebebasan pers itu sendiri
juga dikemukakan oleh beberapa pengamat media. Kritik yang paling populer
disampaikan oleh Jalaluddin Rakhmat dalam opininya di Kompas, 9 Februari
1999. Ia mengatakan, akibat berlebihan memaknai euforia kebebasan, pers
Indonesia seperti kuda lepas dari kandangnya, meloncat-loncat, berlari tanpa
arah dan mendengus-dengus ke mana saja (Susilastuti D.N., 2000: 232, Sobur,
2001: vii). Kritik senada muncul dari mendiang Abdul Muis, Gurubesar Program
Pascasarjana Komunikasi Universitas Hasanuddin. Menurutunya, euforia kebebasan
pers di era reformasi tampaknya sudah mencapai titik jenuh dan memunculkan
gejala kebebasan pers yang bersifat ganas (predatory freedom) pada
sebagian penerbitan pers (Sobur, 2001: vii).
Menurut
UU No 40/1999, pers dan kebebasan pers adalah sosok dan kebebasan yang luar
biasa. Kemerdekaan pers diakui sebagai salah satu wujud kedaulatan rakyat yang
berasas prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum (Pasal 2).
Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara (Pasal 4 A1). Pers
nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran
(Pasal 4 Ayat 2). Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional berhak
mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi (Pasal 4 Ayat
3). Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai
Hak Tolak (Pasal 4 Ayat 4).[Iwan Awaluddin Yusuf].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar